Danau
Tes merupakan danau terbesar di Provinsi Bengkulu, yang terbentang di
antara Dusun Kutei Donok dan Tes, Kecamatan Lebong Selatan, Kabupaten
Lebong. Danau yang memiliki panorama indah ini sangat melegenda di
kalangan masyarakat Lebong, Bengkulu. Konon, Danau Tes ini dulunya
merupakan aliran Sungai Air Ketahun. Namun, karena terjadi suatu
peristiwa, aliran itu berubah menjadi danau. Peristiwa apakah
sebenarnya yang terjadi hingga menyebabkan aliran Sungai Air Ketahun
tersebut berubah menjadi danau? Untuk mengetahui jawabannya, ikuti
kisahnya dalam cerita Asal Mula Danau Tes berikut ini!
* * *
Alkisah, di
Dusun Kutei Donok, Tanah Ranah Sekalawi (atau daerah Lebong sekarang
ini), hidup seorang sakti bersama seorang anak laki-lakinya. Oleh
masyarakat Kutei Donok, orang sakti itu dipanggil si Lidah Pahit. Ia
dipanggil demikian, karena lidahnya memiliki kesaktian luar biasa.
Apapun yang dikatakannya selalu menjadi kenyataan. Meski demikian, ia
tidak asal mengucapkan sesuatu jika tidak ada alasan yang mendasarinya.
Pada
suatu hari, si Lidah Pahit berniat untuk membuka lahan persawahan baru
di daerah Baten Kawuk, yang terletak kurang lebih lima kilometer dari
dusun tempat tinggalnya. Setelah menyampaikan niatnya kepada para
tetangganya dan mendapat izin dari Tuai Adat Kutei Donok, ia pun segera
menyiapkan segala peralatan yang akan dipergunakan untuk membuka lahan
persawahan baru.
“Anakku,
kamu di rumah saja! Ayah hendak pergi ke daerah Baten Kawuk untuk
membuka lahan persawahan baru,” ujar si Lidah Pahit kepada anaknya.
“Baik, Ayah!” jawab anaknya.
Setelah
berpamitan kepada anaknya, si Lidah Pahit pun berangkat dengan membawa
kapak, parang, dan cangkul. Sesampainya di daerah Baten Kawuk, ia
pun mulai menggarap sebuah lahan kosong yang terletak tidak jauh dari
Sungai Air Ketahun. Si Lidah Pahit memulai pekerjaannya dengan
menebangi pohon-pohon besar dengan kapak dan membabat semak belukar
dengan parang. Setelah itu, ia pun segera mencangkul lahan kosong itu.
Tanah-tanah cangkulannya ia buang ke Sungai Air Ketahun.
Setelah
dua hari bekerja, si Lidah Pahit telah membuka lahan persawahan seluas
kurang lebih setengah hektar. Bagi masyarakat Kutei Donok waktu itu,
termasuk si Lidah Pahit, untuk membuka lahan persawahan seluas satu
hektar dapat diselesaikan dalam waktu paling lama satu minggu, karena
rata-rata mereka berbadan besar dan berotot. Alangkah senang hati si
Lidah Pahit melihat hasil pekerjaannya itu.
Pada
hari ketiga, si Lidah Pahit kembali ke Baten Kawuk untuk melanjutkan
pekerjaannya. Ia bekerja dengan penuh semangat. Ia tidak memikirkan
hal-hal lain, kecuali menyelesaikan pekerjaannya agar dapat dengan
segera menanam padi di lahan persawahannya yang baru itu.
Namun,
tanpa disadari oleh si Lidah Pahit, para ketua adat dan pemuka
masyarakat di kampungnya sedang membicarakan dirinya. Mereka
membicarakan tentang pekerjaannya yang selalu membuang tanah
cangkulannya ke Sungai Air Ketahun, sehingga menyebabkan aliran air
sungai itu tidak lancar. Kekhawatiran masyarakat Kutei Donok yang
paling besar adalah jika si Lidah Pahit terus membuang tanah
cangkulannya ke Sungai Air Ketahun akan menyumbat air sungai dan
mengakibatkan air meluap, sehingga desa Kutei Donok akan tenggelam.
Melihat
kondisi itu, ketua adat bersama tokoh-tokoh masyarakat Kutei Donok
lainnya segera bermusyawarah untuk mencari alasan agar pekerjaan si
Lidah Pahit dapat dihentikan. Setelah beberapa jam bermusyawarah,
mereka pun menemukan sebuah alasan yang dapat menghentikan pekerjaan si
Lidah Pahit. Maka diutuslah beberapa orang untuk menyampaikan alasan
itu kepada si Lidah Pahit. Sesampainya di tempat si Lidah Pahit
bekerja, mereka pun segera menghampiri si Lidah Pahit yang sedang asyik
mencangkul.
“Maaf, Lidah Pahit! Kedatangan kami kemari untuk menyampaikan berita duka,” kata seorang utusan.
“Berita duka apa yang kalian bawa untukku?” tanya si Lidah Pahit.
“Pulanglah,
Lidah Pahit! Anakmu meninggal dunia. Kepalanya pecah terbentur di batu
saat ia terjatuh dari atas pohon,” jelas seorang utusan lainnya.
“Ah, saya tidak percaya. Tidak mungkin anakku mati,” jawab si Lidah Pahit dengan penuh keyakinan.
Beberapa
kali para utusan tersebut berusaha untuk meyakinkannya, namun si Lidah
Pahit tetap saja tidak percaya. Akhirnya, mereka pun kembali ke Dusun
Kutei Donok tanpa membawa hasil.
“Maaf, Tuan! Kami tidak berhasil membujuk si Lidah Pahit untuk kembali ke kampung ini,” lapor seorang utusan kepada ketua adat.
“Iya, Tuan! Ia sama sekali tidak percaya dengan laporan kami,” tambah seorang utusan lainnya.
Mendengar
keterangan itu, ketua adat segera menunjuk tokoh masyarakat lainnya
untuk menyampaikan berita duka itu kepada si Lidah Pahit. Namun,
lagi-lagi si Lidah Pahit tidak percaya jika anaknya telah mati. Ia
terus saja mencangkul dan membuang tanah cangkulannya ke Sungai Air
Ketahun.
Melihat
keadaan itu, akhirnya ketua adat bersama beberapa pemuka adat lainnya
memutuskan untuk menyampaikan langsung alasan itu kepada si Lidah
Pahit. Maka berangkatlah mereka untuk menemui si Lidah Pahit di tempat
kerjanya.
“Wahai
si Lidah Pahit! Percayalah kepada kami! Anakmu benar-benar telah
meninggal dunia,” kata ketua adat kepada si Lidah Pahit.
Oleh karena sangat menghormati ketua adat dan pemuka adat lainnya, si Lidah Pahit pun percaya kepada mereka.
“Baiklah!
Karena Tuan-Tuan terhormat yang datang menyampaikan berita ini, maka
saya sekarang percaya kalau anak saya telah meninggal dunia,” kata si
Lidah Pahit dengan suara pelan.
“Kalau begitu, berhentilah bekerja dan kembalilah ke kampung melihat anakmu!” ujar ketua adat.
“Iya, Tuan! Saya akan menyelesaikan pekerjaan saya yang tinggal beberapa cangkul ini,” jawab si Lidah Pahit.
Mendengar
jawaban itu, ketua adat beserta rombongannya berpamitan untuk kembali
ke Dusun Kutei Donok. Setelah rombongan itu pergi, si Lidah Pahit baru
menyadari akan ucapannya tadi. Dalam hati, ia yakin betul bahwa anaknya
yang sebenarnya tidak meninggal kemudian menjadi meninggal akibat
ucapannya sendiri. Maka dengan ucapan saktinya itu, anaknya pun
benar-benar telah meninggal dunia.
Namun,
apa hendak dibuat, nasi sudah menjadi bubur. Ucapan si Lidah Pahit
tersebut tidak dapat ditarik kembali. Dengan perasaan kesal, ia pun
melampiaskan kemarahannya pada tanah garapannya. Berkali-kali ia
menghentakkan cangkulnya ke tanah, lalu membuang tanah cangkulannya ke
Sungai Air Ketahun. Setelah itu, ia pun bergegas kembali ke Dusun Kutei
Donok hendak melihat anaknya yang telah meninggal dunia. Sesampainya
di rumah, ia mendapati anaknya benar-benar sudah tidak bernyawa lagi.
Konon,
tanah-tanah yang dibuang si Lidah Pahit itu membendung aliran Sungai
Air Ketahun dan akhirnya membentuk sebuah danau besar yang diberi nama
Danau Tes.
* * *
Demikian cerita Asal Mula Danau Tes
dari Provinsi Bengkulu. Hingga kini, Danau Tes menjadi sumber mata
pencaharian penduduk Kota Donok dan airnya telah dimanfaatkan sebagai
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
Cerita
di atas termasuk ke dalam kategori legenda yang mengandung pesan-pesan
moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah
satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah keburukan
sifat mudah percaya pada omongan orang-orang yang berpangkat atau
penguasa, karena tidak selamanya ucapan seorang penguasa selalu benar.
Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku si Lidah Pahit yang mudah
percaya dengan laporan ketua adat di kampungnya, sehingga mengakibatkan
anak kesayangannya meninggal dunia. (Samsuni /sas/103/10-08)
Sumber:
- Isi cerita diadaptasi dari Naim Emel Prahana. 1998. Cerita Rakyat Dari Bengkulu 2. Jakarta: Grasindo.
- Anonim. “Wisata Alam”, http://www.bengkulu.info/wisata_alam.htm, diakses pada tanggal 12 Oktober 2008.
- Anonim. “Kabupaten Lebong,” http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Lebong, diakses pada tanggal 12 Oktober 2008.
0 comments:
Post a Comment